sponsor

Slider

Seputar Bekasi

Pemerintahan

Tokoh

Kuliner

Piknik

Olah Raga

Agus Suripto : Membangun Pemuda Bekasi Yang Mandiri

Bekasi - Pemuda Adalah potensi yang harus dikelola dengan baik agar bisa memberi daya guna dan manfaat, bukan saja buat pemuda itu sendiri tapi juga untuk masyarakat banyak. Salah satu wadah untuk menyalurkan aspirasi dan mengelola potensi pemuda adalah Karang Taruna. Strukturnya yang merambah sampai ke tingkat RT membuat Karang Taruna menjadi lembaga yang strategis.

”Uniknya dari Karang Taruna adalah semangat kemandirian dari mulai tingkat Nasional hingga RT. Namun tetap dalam kordinasi yang jelas” kata Agus Suripto, Ketua Karang Taruna Kabupaten Bekasi.

Bebeda dengan organisasi kepemudaan lainnya yang cenderung berorientasi pada bidang politik. Karang Taruna justeru lebih fokus pada permasalan pemberdayaan pemuda dan kegiatan sosial yang berkenaan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Sebab, kata Agus, kemandirian adalah hal yang paling mendesak untuk segera dikuasai oleh para pemuda. Bukan saja secara ekonomi, tapi juga politik dan budaya

”Pemuda harus punya kualitas secara personal, yang pasti akan mampu menguatkan kapasitas kelembagaan” kata pria kelahiran Bekasi, 15 Agustus 1966 tersebut.

Wacana yang dibangun di Karang Taruna Kabupaten Bekasi saat ini adalah pembacaan potensi dan masalah yang ada disekitar tiap-tiap kepengurusan Karang Taruna. Misalnya, Karang Taruna di tingkat Kelurahan harus melakukan pemetaan atau analisis, agar dapat mengenali potensi daerahnya, masalah yang ada, dan tentu saja menjadi bagian dari solusi. Agus bahkan membebaskan para pengurus Karang Taruna Kecamatan dan Kelurahan untuk melakukan inovasi program sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

”Tidak mengherankan jika antara Karang Taruna berbeda-beda program. Ada yang mengurusi limbah untuk daerah industri, ada juga yang konsentrasi pada peternakan dan pertanian. Sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing” jelas pria jebolan IKIP Jakarta tahun 1985 tersebut.

Menurut Agus, para pemuda harus dibiasakan untuk berfikir kritis dan kreatif serta bersikap mandiri. Sebab, persaingan ke depan akan semakin ketat. Apalagi Kabupaten Bekasi adalah daerah industri yang didatangi banyak orang untuk mengadu peruntungan. Sehingga, bekerja menjadi buruh di Pabrik harus tidak lagi menjadi orientasi pemuda Bekasi. Tapi harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan.

”Karang Taruna bukan saja membina pemuda, tapi juga menjadi wadah komunikasi dan interaksi sosial. Sehingga ada pergulatan ide yang tetap dalam kerangka kebekasian” kata penyandang gelar magister menejemen ilmu pendidikan tersebut.

Pada tahun 2010 ini, beberapa program sedang disiapkan oleh Karang Taruna. Salah satunya adalah memperjuangkan lahirnya Sasana Krida Taruna (KST). Agus menjelaskan bahwa nantinya KST ini akan menjadi pusat kegiatan pemuda, yang bukan hanya menyediakan gedung untuk kantor dan tempat pertemuan, tapi juga ruang belajar di alam terbuka. KST sendiri sudah ada di beberapa daerah di Jawa Barat.

“Jadi tempat ini dirancang untuk menjadi pusat kegiatan se Kabupaten Bekasi” jelasnya.


Saat ini, imbuh Agus, Karang Taruna sudah memiliki pilihan tempat yang tepat untuk KST. Diantara adalah sarana fasos yang berada di Kecamatan Babelan, Cikarang Utara dan Bojong Mangu. Rencananya, gagasan ini akan disampaikan kepada Bupati dan DPRD Kabupaten Bekasi dalam waktu dekat untuk mendapatkan persetujuan pada tahun 2010.

Selain pembangunan KST, Agus juga meminta kepada Pemkab Bekasi dapat bekerjasama dengan Karang Taruna. Menurut Agus, posisi kerjasama yang sudah dibangun dengan Pemkab belum bisa diikuti di tingkat kecamatan dan kelurahan. Salah satu bentuk kerjasamanya adalah penyediaan kantor sekretariat yang difasilitasi oleh Lurah dan Camat. “Camat dan lurah belum semuanya bisa diajak untuk sama-sama memikirkan masa depan masyarakat Bekasi” jelasnya.

Disela kesibukannya mengurus Karang Taruna Kabupaten Bekasi, Agus juga tetap mengeluti bidang keilmuannya sebagai pengajar. Ia merupakan pendiri sekaligus ketua Yayasan Pendidikan Nurhidayah, yang memiliki sekolah dari mulai TK hingga SMA di daerah Tambun Selatan. Menurutnya, jiwanya sebagai seorang pendidik tidak akan bisa dilepaskan begitu saja, tapi terus melekat.

”Semangat sebagai seorang guru sudah mendarah daging dalam tubuh dan jiwa saya. Meski tidak mengajar secara khusus, namun mengeluti sekolah dan berinteraksi dengan para murid adalah kepuasan tersendiri buat saya” pungkas ayah dari tiga orang anak tersebut. (brat)

Ali Anwar Somad Merawat Kenangan Sang Kiai

Berkutat pada benda-benda usang bagi banyak orang tidaklah menarik, bahkan serasa membosankan. Namun, bagi Ali Anwar Somad, justru menjadi pekerjaan yang mengasyikkan. Dia merasa bertamasya ke masa lalu mengumpulkan serpihan-serpihan kenangan.

“Seluruh dokumentasi KH Noer Ali dan pesantrean Attaqwa saya yang mengurus. Setiap hari berkutat dengan arsip-arsip lama membuat saya serasa lebih dekat dengan sosok Pak Kiai,” ujar Somad, kepala pusat arsip, dokumentasi dan publikasi Yayasan Attaqwa Kabupaten Bekasi.

Tidak mudah merawat benda-benda lawas, apalagi berbentuk kertas dan rekaman kaset tape atau radio. Butuh ketelatenan dan kehati-hatian, sebab waktu telah merapuhkannya. Salah memegang saja, bisa robek dan fatal akibatnya.

Arsip yang ada di perpustakaan Attaqwa berjumlah ribuan, untuk naskah-naskah lawas, Somad bahkan memburunya ke berbagai tempat, dia dengan telaten mengumpulkan satu demi satu.

Saat ini, dokumen yang sangat bernilai tersebut sebagian sudah ditulis ulang agar lebih awet dan mudah menyimpannya. Banyak mahasiswa yang datang untuk membuat skripsi tentang KH Noer Ali dan sejarah Pondok Pesantren Attawa, baik yang berasal dari internal maupun dari luar daerah. Keberadaan pusat data ini tentu sangat berharga.

“KH Noer Alie itu pahlawan nasional, bukan lagi milik keluarga dan Attaqwa saja. Semakin banyak orang yang menulis tentang beliau, maka semakin bagus,” kata pria kelahiran tahun 1955 yang akrab disapa Sekdes, karena dulu pernah didaulat menjadi Sekdes oleh KH Noer Ali.

Hanya saja, ada beberapa kaset rekaman video KH Noer Ali yang nyaris tidak bisa diselamatkan. Dimakan usia, dan sudah berjamur. Somad saat ini mengaku sedang mati-matian menyelamatkan rekaman-rekaman tersebut agar bisa ditransfer ke teknologi yang lebih canggih, namun belum juga menemukan jalan keluar.

“Saya sudah kemana-mana, tapi kebanyakan orang yang saya minta tolong menyerah. Satu-satu jalan harus dibawa ke luar negeri, karena ada teknologi yang bisa membaca pita kaset yang sudah lapuk sekalipun. Tapi anggarannya cukup besar,” kata Somad dengan nada menyesal.

Somad punya kenangan tersendiri kepada figure KH Noer Ali, yang sampai hari ini masih melekat dalam dirinya, yaitu Musik Gambus. Somad menggeluti Gambus sejak masih remaja. Dia menggenang, bahwa musik Gambus pertama kali diperkenalkan oleh KH Noer Ali saat baru pulang dari Tanah Suci. KH Noer Alie memerintahkan kepada aparat kepala desa untuk mengundang grup musik gambus terkenal dari daerah Kemayoran untuk tampil di kantor Desa.

“Waktu itu KH Noer Ali memperkenalkan musik gambus untuk membendung pengaruh kesenian Dombret yang sedang marak. Padahal Dombret lebih cenderung maksiat karena mempertontonkan aurat perempuan,” kenang Somad.

Usai tampil, KH Noer Ali meminta kepada pemimpin grup Gambus tersebut untuk melatih anak-anak muda di Ujung Harapan bermain gambus. Somad, adalah generasi awal yang ikut diminta bergabung dalam grup Gambus tersebut.

“Kalau dulu belajar gambus harus melihat langsung, sekarang sudah banyak kaset rekaman jadi lebih mudah,” kata Somad.

Dalam perkembangannya, selain gambus muncul Kosidah dan terakhir adalah marawis. Di Ujung Harapan sendiri masih ada tiga grup musik yang masih eksis.

“Meskipun harus bersaing dengan organ tunggal, tapi gambus, kosidah dan marawis tetap bertahan di kalangan masyarakat Bekasi,” ujar Somad yang juga penanggungjawab Radio Attaqwa.

Kini Somad hanya menyaksikan kenangan-kenangan tersebut dari ribuan dokumen yang digelutinya setiap hari. Dia berharap, dokumen tersebut bisa beranak-pinak menjadi ribuan buku, yang memberi pencerahan kepada generasi sesudahnya.

“Pesantren adalah benteng terakhir umat, jika pesantren sudah tidak bisa menjaga nilai dan idealismenya, maka bangsa ini akan runtuh. Sejarah telah mencacat peran pesantren yang sangat besar, bukan hanya menyebarkan agama Islam, mendidik generasi penerus, tapi juga ikut berjuang dan membangun,” kata Somad dengan mata berkaca penuh harap. (brat)